Tuesday, February 22, 2005

De Javu

"Tuhanku, jika Kau adalah Dia nya, izinkan aku untuk memberikan dua tetes air mata, setetes untuk keteguhan hatinya padaku hari ini, dan setetes lagi karena dia telah mengelabuiMu".

"Sudah bukan, semua kelepak kuasaku mengangkasa hanya untuk merebut rie kembali. Sayap-sayapku yang terbakar hanya menyisakan hikayat. Biarlah. Kalau saja benar ada malaikat yang bisa menukar sayapku, aku mau menggantinya hanya untuk menjelaskan pada banyak orang, bahwa aku tak pernah merasa salah meletakkan hati pada orang."

"Oh bahagia, lupakanlah aku yang mengharap padamu
Walaupun aku terus berharap dan berseru
Tapi aku memang tak cukup kuat mengampu tugasmu
"

"Jenuh, itu saja perkaranya. Setiap datang luka, maka luka yang sudah sekuat tenaga aku sembunyikan kembali menyembul berurutan dan menghardik ke mukaku."

"Setidaknya aku masih bisa menikmatinya dalam sayup-sayup yang tak tergapai. Meski seringkali aku berpikir semua yang sudah aku rasakan selama ini tak memecahkan hatiku, semua yang kulakukan hanya untuknya tidak sempurna pada titiknya. Aku kalah pada perang terakhir ini.
Tawa Rie masih terus terdengar dan gegapnya membunuhku, pelan dan perlahan! Haruskah kutembak kepalaku sendiri hingga pecah? Hanya agar deritaku sirna. Ataukah mengguyurkan satu liter bensin dan membenamkan diriku sendiri pada sisa-sisa kenangan yang kubakar.
"

"Tuhan menciptakan dunia yang sama untuk pembunuh dan malaikat. Tuhan menganugerahi udara yang sama untuk pendosa dan pecinta. Lalu kenapa aku tidak mencintai orang-orang yang sudah menyakitiku? jika Tuhan saja mampu mencintai semua orang yang durhaka padaNya."

(Dikutip dari "Dejavu" Karya Herlinatiens)

Monday, February 21, 2005

~ Kalah ~

Sendiri menepi
Dalam kekelaman yang tetap sunyi
Entahlah kapan bisa berhenti
Dan sampai kapan aku menyepi

Dalam setiap perjalananku malamku
Setiap tapak kakiku mendaki
Ada sesuatu yang selalu hadir membiru
Dan kerap menyakiti kala rajai hati

Terhadirkan gunung es dalam setiap hariku
Pada siapa saja yang hadir bertamu
Namun selalu leleh menderu
Berganti bara yang hadir kala menatapmu

Mungkin sudah puluhan gunung es yang muncul
Karena siapapun masih tak mampu melelehkannya
Dengan semua yang dimilikinya
Tak sepertimu yang bisa melelehkannya
Hanya dengan sekali muncul

Aku lelah..., Aku letih..., Aku meranggas...
Tanpa tahu kapan musim semi kan hadir
Aku merayap, menggeletakkan aku dimanapun dan
Kapanpun dengan semua penyerahan pasrahku
Yang masih saja menyakitiku dengan kesadaranku sendiri
Karena masih saja ditolak oleh semua perasaan yang tersisa

Tak mengertikah kau... wahai sang penguasa jiwa
Diri ini sudah kalah
Hati ini sudah menyerah
Dan mengapa masih merasa dinjak-injak
Sementara kau masih saja tetap membisu
Seolah tak pernah ada aku...